Sejarah Pura Besakih

Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.


Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.

Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya. Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)

Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.

1. Pura Pesimpangan

Dari Pura Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan (singgah) sejenak bila kembali melelasti dari Segara Kelotok Klungkung.
Denah Pura Pesimpangan

Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Bangunan suci atau Pelinggih yang utama di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang disebut Gedong Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut pepelik untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada juga bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan tempat menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar.

Di samping itu, ada juga beberapa peninggalan batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu itu mungkin bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau peninggalan sarana pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum muncul dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata tidak eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan sarana peninggalan Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat seperti yang kita jumpai di beberapa bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih.

Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya Siwa Pasupata tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Siwa Sidanta, tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak diperlakukan semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana sementara Ida Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara?

Dalam kegiatan ritual keagamaan yang bersifat rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara Melasti simbol perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu dilakukan di Besakih umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten Klungkung, ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun dilakukan upacara Melasti.

Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau ke Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan ini. Saat berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura Pesimpangan itu disimbolkan sebagai stana sementara Ida Batara di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa Bali yang artinya singgah.

Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah sementara dari Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura Penataran Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat kembali ke pelinggih semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar kecilnya sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi.

Untuk mempersiapkan sesaji itu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah iring-iringan Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti sejenak di Pura Pesimpangan. Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih seperti sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui siap dan tidaknya penyambutan iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih.

Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah dekat dengan Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura Pesimpangan suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung. Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu menyangkut ritual sakral penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu sudah dapat mulai dipersiapkan.

Setelah berhenti beberapa jam lamanya di Pura Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju Penataran Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan.

Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih Limas Catu ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong Pertiwi tempat pemujaan leluhur umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung Agung di Besakih. Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung sebagai pesimpangan Ida Batara di Gunung Batur.

Limas Catu dan Limas Mujung wujud umumnya sama tetapi yang berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan tersebut. Kalau Limas Catu puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin mengecil yang dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang ada ukirannya.

Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media memuja Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih memohon kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi adalah untuk memuja memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat pemujaan umat pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena itulah ada Pelinggih Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud Limas Catu dan Limas Mujung.

Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat dibuat dalam wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan jagat masyarakat umat Hindu umumnya tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih dalam keluarga yang lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih Limas Catu namanya.

Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di Besakih sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti dinyatakan dalam petikan Kekawin Dharma Sunia di atas..

2. Pura Dalem Puri

Pura ini terletak jauh di selatan Pura Penataran Agung. Di pura ini distanakan Bhatari Durga. Dahulu pura ini disebut Pura Dalem Kedewatan. Umat Hindu seusai mengadakan Upakara Pitra Yadnya, yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini untuk mendak dan Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing.
Denah Dalem Puri


Di sebelah Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang disebut Tegal Penangsaran, ditunggui sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah sejarahnya Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain – lainnya, yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih.


3. Pura Manik Mas

Tuhan Yang Maha Esa menggunakan api sebagai dasar menciptakan langit dan bumi. Api sebagai sumbernya pengembangan genernasi bagi semua makhluk.

Pura Manik Mas berada tidak sampai satu kilometer di sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Umum menyatakan berada di sebelah selatan Pura Penataran Agung Besakih. Di sebelah pura ini terdapat Sekolah Dasar Besakih dan ada juga balai banjar. Pura ini terletak di sebelah kiri jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih.

Bangunan suci yang paling utama di pura ini bernama Gedong Simpen (3). Bangunan yang disebut Gedong Simpen ini bentuknya seperti gedung kecil beratap ijuk dan bertiang empat menghadap ke utara bukan ke barat seperti pandangan orang pada umumnya. Yang dipuja di Pura Manik Mas ini juga Tuhan sebagai pencipta magma yaitu api yang mahabesar di perut bumi.

Menurut kutipan mantra Weda di atas bahwa Tuhan menjadikan api sebagai dasar untuk menciptakan langit dan bumi. Apa yang berada di perut bumi itu sebagai sumber energi dalam bumi. Sedangkan matahari sebagai api di langit juga sebagai energi yang menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk. Magma api di bumi dan matahari api di langit.

Dua api sumber alam ciptaan Tuhan ini bekerja sama berdasarkan hukum Rta. Dari dua api itulah alam ini menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk isi alam ini. Secara moral manusia seyogianya merasa berutang atas karya Tuhan yang amat luar biasa ini. Pemujaan di Pura Manik Mas sebagai wujud bakti umat Hindu kepada Hyang Widhi atas keberadaan alam sebagai sumber kehidupan tersebut.

Dalam mitologi Hindu api magma itu dilukiskan berbentuk kura-kura raksasa. Karena itu disebut badawang nala. Kata ''badawang'' artinya kura-kura besar dan kata ''nala'' dalam bahasa Sansekerta artinya api. Api magma yang dibelit oleh kulit bumi berupa zat padat seperti tanah dan zat cair itu disimbolkan dalam mitologi Hindu sebagai kura-kura dibelit oleh dua ekor naga.

Naga itu bernama Naga Basuki sebagai dewanya air penjelmaan Dewa Wisnu. Satu lagi bernama Naga Ananta Bhoga sebagai dewanya tanah penjelmaan Dewa Brahma. Dari tanahlah tercipta berbagai macam tumbuh-tumbuhan bahan makanan hewan dan manusia.

Karena api magma atau Badawang Nala itu dibelit oleh dua ekor naga maka Tuhan yang dipuja di Pura Manik Mas ini dalam sebutan lokal sebagai Ratu Mas Melilit. Arti kata Ratu Mas Melilit itu adalah beliau yang terbelit. Yang dimaksudkan beliau itu adalah magma yang dibelit oleh tanah dan air. Mengapa ada alam seperti itu? Hal itu terjadi jelas karena karya ciptaan Tuhan.

Pemujaan Tuhan sebagai pencipta magma memberikan kita pengetahuan bahwa ajaran Hindu itu mengajarkan bahwa kemahakuasaan Tuhan itu ada di mana-mana termasuk di magma pun ada karena kemahakuasaan Tuhan. Di samping itu pemujaan Tuhan sebagai pencipta magma yang dibelit oleh dua ekor naga juga memberikan kita pengetahuan bahwa keadaan bumi kita antara satu lapisan dengan lapisan yang lainnya saling terpadu. Dari keterpaduan alam itulah tercipta kesuburan untuk kehidupan semua makhluk hidup isi alam ini.

Dalam mitologi Hindu di Bali ada diceritakan bahwa kalau ada gempa bumi sangat diyakini oleh masyarakat Bali bahwa kura-kura api yang disebut dengan Badawang Nala itu begerak-gerak. Kalau dua ekor naga itu sampai tidak mampu membelit kura-kura api itu maka akan terjadi gempa yang sangat hebat dan gunung pun akan meletus. Tetapi letusan gunung itu di samping sebagai malapetaka juga membawa kesuburan. Di mana daerah yang ada gunung berapinya pasti daerah itu tanahnya subur untuk pertanian dalam arti luas.

Pemujaan di Pura Manik Mas yang bersifat berkala dilakukan setiap Tumpek Wariga. Dalam tradisi Hindu di Bali pemujaan umum itu disebut upacara Odalan yang maknanya mirip dengan ulang tahun. Odalan itu dilakukan berdasarkan dua sistem yaitu menurut perhitungan tahun Candra atau lunar system dan ada Odalan yang dilakukan berdasarkan sistem Wuku.

Satu wuku lamanya tujuh hari. Satu bulan wuku lamanya 35 hari. Kalau Odalan bedasarkan tahun Candra umumnya dilakukan pada hari-hari bulan penuh yang disebut dengan bulan purnama. Kalau Odalan dilakukan berdasarkan perhitungan tahun Candra dilakukan setiap tahun. Misalnya setiap Purnama Bulan Kedasa. Artinya Odalan itu dilakukan setahun sekali pada setiap bulan kesepuluh.

Sementara kalau odalan dilakukan berdasarkan sistem Wuku dilakukan setiap 210 hari. Odalan di Pura Manik Mas dilakukan pada hari Tumpek Wariga bersamaan dengan odalan di Pura Puncak Mangu yang letaknya di ujung utara Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Di Pura Puncak Mangu ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sangkara. Dewa Sangkara ini adalah Tuhan dalam fungsinya sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan. Jadinya Pura Manik Mas ada hubungan fungsional dengan Pura Puncak Mangu.

Dengan adanya hubungan antara Pura Manik Mas dan Puncak Mangu ini berarti orang suci Hindu di masa lampau yang mendirikan kedua pura itu telah memiliki pemahaman filosofis yang cukup konseptual mengenai keberadaan magma dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun magma itu adalah raksasa api yang tidur di perut bumi, tetapi ia juga berfungsi untuk menyuburkan tanah tempat-tempat tumbuh-tumbuhan berkembang memberikan makanan pada semua makhluk hidup di bumi ini.

Api dalam wujud matahari di langit dan api dalam wujud magma di dalam perut bumi menjadi sumber kehidupan setelah bertemu dengan air yang dilambangkan oleh Naga Basuki dan tanah yang dilambangkan oleh Naga Ananta Bhoga. Demikian juga Naga Taksaka lambang udara perwujudan Dewa Iswara yang distanakan di Pura Pengubengan yang dibangun di tempat yang tertinggi di kompleks Pura Besakih.

Keterpaduan berbagai unsur alam semesta ini tentunya karena hukum Rta atau hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan. Karena itu pemujaan Tuhan di Pura Manik Mas sebagai wujud rasa bakti umat Hindu atas karya maha agung dari Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Esa itu.

Di samping umat melakukan pemujaan paga Tuhan atas karya-Nya menciptakan api magma, umat juga harus melakukan karya nyata. Karya nyata yang wajib dilakukan oleh manusia dalam karya yang dapat membantu proses alam tersebut menciptakan kesuburan. Meskipun ada energi magma di perut bumi kalau tanahnya yang membelit magma itu gundul maka energi dari dalam perut bumi ini tidak berfungsi karena tidak ada tumbuh-tumbuhan yang dikembangkan oleh energi tersebut. Energi magma dalam perut bumi itu akan berfungsi apabila manusia rajin menghijaukan lahan di sekitarnya.

4. Pura Bangun Sakti

Ato deva avantu no.
yato visnur vicakramk
prthivyah saptadhamadhih.
(Rgveda I.12.16).

Maksudnya:
Terdapat tujuh lapisan bumi, kemahakuasaan Tuhan bertempat tinggal pada bagian-bagian dalam bumi dan menciptakan perubahan-perubahan di tujuh lapisan bumi itu semoga para dewa dengan bahan-bahan tersebut melindungi kita.

PURA ini terletak di sebelah kanan jalan kurang lebih 600 meter menuju Pura Penataran Agung Besakih. Mengapa pura ini diberi nama Pura Bangun Sakti. Hal ini belum begitu jelas. Tetapi dari segi arti kata bangun sakti artinya kekuatan hidup. Demikian menurut Drs. I Gst. Agung Gede Putra (alm), mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI.

Fungsi pura ini sebagai media pemujaan Tuhan sebagai dewanya tanah zat padat yang menjadi kulit bumi ini. Karena itu di pura ini Tuhan dipuja dengan sebutan Sang Hyang Ananta Bhoga. Arti kata Sang Hyang Ananta Bhoga adalah beliau yang suci sumber makanan yang tidak habis-habisnya. Kata Sang Hyang artinya beliau yang suci. Ananta artinya tidak habis-habis, sedangkan Bhoga artinya makanan.


Dalam ajaran Hindu manusia membutuhkan tiga jenis kebutuhan yaitu Bhoga artinya makanan, Upabhoga artinya sandang dan Paribhoga artinya rumah dengan segala perlengkapannya. Di Pura Bangun Sakti, Tuhan dipuja sebagai dewanya tanah sumber makanan yang tidak habis-habisnya atau terus-menerus. Pengertian tanah dalam hal ini dalam artian yang luas, seperti batu-batuan, pasir, debunya dan juga zat zair yang ada di dalam bumi tersebut.

Di pura ini adalah dua bangunan utama yang berbentuk Gedong Simpen dan Pelinggih Dasar Sapta Patala. Gedong Simpen adalah bangunan suci atau pelinggih yang bertiang empat beratap ijuk. Pelinggih dasar Sapta Patala adalah berbentuk bebaturan di atasnya distanakan patung Naga Ananta Bhoga yang juga disebut Sapta Patala.

Menurut pengertian sastra suci Hindu, tanah kulit bumi ini terdiri atas tujuh lapisan. Karena itu disebut Sapta Patala. Sapta artinya tujuh dan patala artinya lapisan bumi ke bawah. Sedangkan tujuh lapisan langit ke atas disebut Sapta Loka. Pura Bangun Sakti ini sebagai hulu semua Pelinggih Sapta Patala di berbagai pura yang ada di seluruh Bali. Pelinggih Sapta Patala umumnya dibangun di pura keluarga maupun Pura-pura umum di Bali. Hal ini untuk mengingatkan umat Hindu agar menjaga kelestarian tanah sebagai kulit bumi.

Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Ananta Bhoga memiliki makna untuk memotivasi umat Hindu agar senantiasa memelihara kelestarian tanah agar terus-menerus menjadi sumber berkembangnya tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan dan bahan obat-obatan secara terus-menerus atau ananta bhoga. Hal ini seharusnya memotivasi umat manusia untuk tidak mengusik kelestarian tanah.

Kalau tanah tidak lestari akan terjadi krisis pangan. Karena itu barang siapa yang mengusik kelestarian tanah menjadi sumber makanan yang tidak habis-habisnya, ia pun sesungguhnya berdosa pada Tuhan. Karena Tuhanlah yang menciptakan tanah menjadi sumber makanan terus-menerus. Kalau kelestariannya diusik maka tanah itu akan berhenti menjadi sumber makanan. Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Ananta Bhoga harusnya dimaknai dengan langkah nyata menjaga agar tanah terus subur menjadi tempatnya tumbuh-tumbuhan berkembang subur.

Dalam Lontar Pamancangah ada dinyatakan bahwa di Pura Bangun Sakti inilah Mpu Sidhi Mantra mengumpulkan abu jenazah putranya yang bernama Manik Angkeran. Dalam lontar tersebut diceritrakan bahwa Mpu Sidhi Mantra seorang pandita yang berasal dan Jawa Timur.

Beliau memiliki seorang putra bernama Manik Angkeran. Putranya itu terus disekolahkan di Bali belajar pada Sang Hyang Naga Basukih dan bertempat tinggal di Besakih. Ternyata Manik Angkeran bukan berkonsentrasi belajar dan berlatih kerohanian. Manik Angkeran malahan menyimpang dari tujuan ayahnya menyekolahkan di Bali. Manik Angkeran kepincut pada judian.

Karena kehabisan uang dia tergoda melihat ujung ekor Naga Basukih menggunakan hiasan emas bertahta permata mulia yang mahal-mahal. Karena bingung kehabisan uang maka diam-diam ujung ekor Naga Basukih yang berhiaskan emas itu dipotongnya akan digunakan untuk berjudi. Karena kedurhakaannya itu Naga Basukih marah dan dari lidahnya mengeluarkan api.

Api yang memancar dari lidah Naga Basukih terus disemprotkan ke arah Manik Angkeran yang sudah telanjur memotong ujung ekor Naga Basukih. Manik Angkeran pun hangus terbakar menjadi abu. Kejadian ini diketahui oleh Mpu Sidhi Mantra di Jawa, terus beliau pun bergegas berangkat dari Jawa menuju Bali. Sesampai di Bali, Mpu Sidhi Mantra memohon maaf sebesar-besarnya kepada Sang Hyang Naga Basukih. Naga Basukih pun bersedia memaafkan dan dipersilakan Mpu Sidhi Mantra menghidupkan kembali putranya.

Akhirnya, abu jenazah Manik Angkeran pun dihidupkan kembali di Pura Bangun Sakti. Manik Angkeran dinasihati oleh Mpu Sidhi Mantra agar menghentikan kebiasaannya berjudi itu. Karena sangat tegas dan jelas Veda Sruti Sabda Tuhan itu melarang umatnya berjudi. Sejak itu Manik Angkeran sadar dan tidak lagi mengembangkan kebiasaannya berjudi. Manik Angkeran pun menjadi putra yang sangat baik seperti amat patuh pada gurunya dan ayahnya.

Apalagi dalam Manawa Dharmasastra II.233 menyatakan ia yang berbakti pada ibunya mendapat pahala berupa kebahagiaan di bumi, berhakti pada ayahnya mendapatkan pahala kebahagiaan di alam tengah, dengan berbakti pada guru kerohaniannya akan mencapai Brahma Loka. Berbakti pada tiga orang itulah yang dilakukan oleh Manik Angkeran sehingga ia dari kuputra menjadi suputra. Maksudnya dari anak yang tidak baik menjadi anak yang suputra.

Selanjutnya Manik Angkeran karena keberhasilan beliau mengubah diri itu dipercaya menjaga dan merawat Pura Besakih oleh Sang Hyang Naga Basukih. Kewajiban itu dilaksanakan oleh Manik Angkeran dengan patuh sampai dengan keturunannya sampai sekarang. Perubahan yang amat luar biasa itu terjadi di Pura Bangun Sakti berkat kesaktian Naga Basukih dan Mpu Sidhi Mantra. Hal itulah kemungkinannya pura ini disebut Bangun Sakti.

Sang Hyang Naga Basukih dalam mitologi disebut membakar Manik Angkeran. Mungkin bukan dibakar secara fisik, mungkin mitologi sebagai simbol sebagai pembakaran dengan Jnyana Agni dosa Manik Angkeran karena berjudi sampai memotong ekor emas Sang Hyang Naga Basukih. Dalam diri Sang Hyang Ananta Bhoga itu terdapat kemahakuasaan Tuhan sebagai Dewa Brahma, dan juga Dewa Wisnu sebagai Dewa Baruna. Karena itu lapisan bumi ini terus-menerus harus dilindungi hak asasi alaminya oleh umat manusia dengan berbagai upaya, baik sekala maupun secara niskala.

* i ketut gobyah

 5. Pura Ulun Kulkul

PURA Ulun Kulkul dalam Pangider-ider Pura Catur Dala yang berada di wilayah barat dari Pura Penataran Agung Besakih.

Mengapa pura ini disebut Pura Ulun Kulkul, karena di Pura ini terdapat hulunya Kulkul di seluruh Bali. Di pura ini umat mohon taksu kalau membuat kulkul atau kentongan sebagai alat komunikasi tradisional. (Mestinya dalam alam modern ini, kita bisa mohon taksu untuk ponsel kita, agar kondisinya tetap prima dan tidak mudah terganggu).


Fungsi utama dari Pura Ulun Kulkul ini adalah sebagai media pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Pelinggih utama sebagai pemujaan Bathara Mahadewa adalah di Pelinggih Gedong Sari (7). Pelinggih ini berbentuk segi empat beratap ijuk agak meruncing keras. Pelinggih ini letaknya di arah tenggara dari areal Pura Ulun Kulkul dan diapit oleh Palinggih Pepelik (5 & 6) sebagai tempat mengaturkan upakara saat ada upacara besar atau kecil. Dua Pelinggih Pepelik ini sebagai tempat mengaturkan dua macam upakara. Dalam Sarasamuscaya ada disebutkan persembahan itu ada dua jenis yaitu Ista dan Purta. Ista adalah upakara sebagai media permohonan untuk mengembangkan niat-niat spiritual untuk membangun kemajuan jiwa. Sedangkan Purta simbol permohonan untuk memajukan kesejahteraan hidup duniawi. Karena itu di Pura Ulun Kulkul diadakan setiap Tilem Sasih Ketiga di upacara Pengurip Bumi. Bumi ini ke bawah memiliki tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala. Kalau masing-masing lapisan ini berfungsi dengan sebaik-baiknya maka kehidupan di permukaan bumi ini akan berlangsung dengan baik. Di semua lapisan-lapisan bumi ini ada kemahakuasaan Tuhan sehingga lapisan bumi ini dapat berdinamika sesuai dengan hukum Rta. Kalau lapisan bumi ini dapat berfungsi sesuai dengan hukum Rta maka sumber-sumber alam akan berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup di permukaan bumi ini. Karena itu Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk memohon agar tanah seperti sawah, ladang maupun hutan dapat menjadi tempat tumbuhnya tanam-tanaman dengan suburnya.Sementara kulkul besar hulu dari kulkul di Bali diletakkan di Pelinggih Bale Agung (2) bertiang delapan.

Di Bali kalau ada umat atau desa membuat kulkul, pada saat melaspas kulkul-nya umat nunas tirtha di Pura Ulun Kulkul ini agar kulkul-nya mataksu ditaati oleh umat. Memang sebagian besar kompleks Pura Besakih ini sebagai hulunya berbagai pemujaan umat Hindu yang ada di seluruh Bali. Oleh karena itu sudah sangat tepatlah Pura Besakih berkedudukan sebagai Huluning Bali Rajya. Artinya kepalanya Pulau Bali. Sedangkan pusatnya adalah Pura Pusering Tasik.Fungsi kulkul sesungguhnya sebagai sarana untuk memohon adanya suasana yang rukun, aman dan damai. Karena salah satu tujuan hidup bersama adalah mendapatkan rasa aman dan sejahtera.

Dalam Manawa Dharmasastra 1.89 disebut Raksanam dan Dhanam. Raksanam artinya mohon keamanan dan Dhanam artinya memohon kesejahteraan ekonomi. Dua kebutuhan rakyat dalam kehidupan bersama ini menjadi tanggung jawab para pemimpin.Karena itu Raja sebaga Ksatria didampingi oleh Bhagwanta atau pendeta istana menekankan pendirian Pura Besakih termasuk Pura Ulun Kulkul ini. Kalau ada anggota masyarakat yang diduga berbuat salah seperti mencuri atau perbuatan yang melanggar hukum lainnya, maka di Pura Ulun Kulkul inilah diselenggarakan upacara ''Penyumpahan''. Hal ini untuk membuat umat menjadi takut berbuat melanggar hukum. Penyumpahan ini sebagai bukti bahwa Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk membangun rasa aman atau Raksanam.Penyumpahan ini bertujuan untuk menanamkan pada lubuk hati umat bahwa kalau mereka melanggar hukum Tuhan pasti tahu. Inilah cara menanamkan cara pengawasan oleh diri sendiri agar umat menjaga prilakunya. Dengan demikian Raja akan lebih mudah membangun rasa aman dalam kerajaannya.

Pura Ulun Kulkul juga berfungsi sebagai Pura untuk memohon keselamatan ''Sarwa Mule''. Yaitu barang-barang berharga seperti emas, perak, dan batu-batu permata yang diyakini memiliki tuah spiritual. Karena benda-benda ini bentuknya kecil sehingga sangat mudah hilang, apa lagi zaman dahulu tidak ada peti besi (bran-kaas, safety deposit box) seperti sekarang untuk menyimpan benda-benda berharga itu. Dengan memuja Tuhan sebagai Bhatara Mahadewa umat yakin akan keamanan barang-barang mereka yang berharga itu. Demikian juga umat yakin kalau memiliki barang-barang berharga mereka mohonkan Tirtha di Pura Ulun Kulkul sebagai stana Dewanya ''Sarwa Mule''. Hal itu diyakini akan mendapatkan perlindungan dari Bhatara Mahadewa. Demikian juga para pencuri akan takut mencuri barang-barang yang sudah dimohonkan perlindungan di Pura Ulun Kulkul.Kalau mereka berani mencuri mereka akan segera ketahuan atau akan mendapatkan ''pastu'' dari Bhatara Mahadewa. Cara pengamanan ini bersifat Niskala. Pada zaman modern sekarang ini keyakinan orang pada hal-hal Niskala itu agak menipis, karena itu pengamanan Niskala itu hendaknya disertai dengan pengamanan Sekala. Di samping itu menurut ajaran Hindu dalam hidup ini memang tindakan manusia harus selalu diupayakan seimbang antara tindakan Sekala dan Niskala.Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai keseimbangan itu yang diawali dari melakukan upaya Niskala untuk memperoleh rasa aman sebagai salah satu unsur yang mutlak untuk mendapatkan hidup yang harmonis.

6. Pura Merajan Selonding

PURA Merajan Slonding tergolong salah satu dari kompleks Pura Besakih yang memiliki kedudukan yang cukup penting. Pura ini terletak di sebelah utara Pura Ulun Kulkul atau masyarakat menyebutnya di sebelah barat Pura Ulun Kulkul. Pura ini tergolong Pura Soring Ambal-ambal. Pura Merajan Slonding adalah bagian dari Merajannya Raja Kesari Warma Dewa.
Pura Merajan Selonding


Meskipun seorang raja yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas di dalam rumah tempat tinggalnya yang disebut istana atau puri selalu ada juga tempat pemujaan leluhur sang raja sebagai hulu dari pekarangan purinya. Seorang raja sebagai kesatria memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang amat berat.

Dalam Manawa Dharmasastra I.89 dinyatakan kewajiban raja sebagai kesatria adalah mengupayakan rasa aman (Raksanam) dan kesejahteraan (Danam) untuk rakyatnya. Karena itu sebagai kesatria diwajiban untuk setiap hari mengupayakan melakukan pemujaan kepada leluhur dan kepada Tuhan, mempelajari Weda, melakukan upacara yadnya dan mengusahakan pengekangan hawa nafsu (wisayeswaprasaktatih).

Karena demikian beratnya tugas-tugas seorang raja akan Merajan tersendiri bagi seorang raja tentunya amat dibutuhkan untuk melakukan kotemplasi spiritual untuk menguatkan diri bagi seorang raja. Di areal Pura Merajan Slonding inilah tempat Merajan Raja Kesari Warma Dewa.

Mengapa pura ini disebut Merajan Slonding. Karena di pura ini sebagai tempat menyimpan suatu alat musik tradisional yang disebut Slonding. Slonding ini adalah sejenis gamelan Bali yang digunakan saat ada upacara keagamaan yang penting di pura ini.

Gamelan Slonding ini disimpan di sebuah Pelinggih Gedong Penyimpenan bertiang enam beratap ijuk. Di Gedong inilah disimpan Gamelan Slonding, lontar, semua pratima dari semua pura yang tergolong Soring Ambal-ambal. Di Gedong ini juga disimpan prasasti Bradah. Sedangkan berbagai busana sakral dengan perlengkapan pura di Soring Ambal-ambal disimpan di Bale Pengangge.

Di samping itu ada juga Pelinggih Gedong Saraswati bertiang empat beratap ijuk. Di Pura Merajan Slonding ini disebutkan sebagai Linggih Ida Ratu Bagus Slonding. Ada juga Balai Piyasan sebagai tempat mengaturkan sesajen kalau ada upacara besar.

Yang cukup menarik perhatian kita adalah mengapa pratima dan berbagai perlengkapan sakral dari Pura Soring Ambal-ambal disimpan di Pura Merajan Slonding. Dari segi praktisnya sepertinya agak janggal. Karena cukup merepotkan. Mengapa tidak cukup disimpan di masing-masing pelinggih dari Pura Soring Ambal-ambal tersebut. Pura Soring Ambal-ambal ini adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan yang memberikan jiwa alam bawah.

Disatukannya pratima dan berbagai sarana sakral tersebut sebagai suatu simbol bahwa di alam bawah tersebut meskipun Tuhan diberikan berbagai sebutan yang berbeda-beda namun sumbernya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berstana Ida Batara Ratu Mas Malilit di Pura Manik Mas, Ida Batara Ananta Bhoga di Pura Bangun Sakti, Ida Batara Basukian di Pura Basukian, Ida Batara Naga Raja atau Naga Tiga di Pura Goa Raja, dstnya.

Sebutan Tuhan sebagai jiwa alam itu hanya untuk mudah membeda-bedakan fungsi dari sumber alam yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa tersebut. Karena semua sumber alam tersebut tidak mungkin dapat berfungsi sebagaimana mestinya tanpa ada kekuatan Tuhan yang memberikan makna.

Ditempatkannya dalam satu tempat semua pratima dan simbol-simbol sakral tersebut di Pura Merajan Slonding nampaknya bukan semata untuk lebih mudah mengamankannya.

Tetapi ada makna lain untuk memberikan motivasi pada sang raja agar dalam membangun kemakmuran rakyatnya dengan memberikan perhatian pada unsur-unsur alam yang disimbolkan oleh semua pura di Soring Ambal-ambal.

Setiap ada upacara di masing-masing Pura Soring Ambal-ambal pratima dan simbol-simbol sakral itu pasti diambil melalui prosesi ritual tertentu. Dari Pura Merajan Slonding. Hal ini akan mengingatkan raja dan rakyat apa makna dari masing-masing pemujaan di setiap pura di Soring Ambal-ambal tersebut.

Demikian juga saat mengembalikan tersebut sebagai suatu proses untuk mengingatkan raja dan rakyat secara berulang-ulang apa makna dari pemujaan tersebut. Dengan cara berulang-ulang itu seyogianya pemaknaan pemujaan itu lebih dapat diwujudkan dengan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh sang raja maupun dari rakyat sendiri.

Demikian juga adanya Gedong Saraswati sebagai suatu sarana untuk mengingatkan raja dan rakyatnya agar dalam mengelola kehidupan bersama dalam wadah negara kerajaan senantiasa menggunakan ilmu pengetahuan suci yang berasal dari ciptaan Tuhan. Weda tersebut juga ibu atau Weda Mata. Karena dari Weda-lah lahirnya dua macam ilmu yaitu Para Widya dan Apara Widya.

Para Widya adalah ilmu pengetahuan rohani dan Apara Widya adalah ilmu pengetahuan duniawi. Dua ilmu atau kalau diterapkan secara seimbang dan terpadu akan dapat membangun kehidupan yang seimbang antara kehidupan rohani dan kehidupan duniawi. Seimbangnya kehidupan rohani dan duniawi itulah yang akan membawa masyarakat bahagia lahir batin.

* I Ketut Gobyah

 7. Pura Goa

Ke utara dari Pura Manik Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor.
Denah Pura Goa

Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan (susu), madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki, sehingga Dang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung, sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua Lawah, salah seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih. Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu.

8. Pura Banua Kawan

Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan. Di sini diistanakan Batari Sri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih, artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup.
Pura Benua Kawan


Makna di Balik Simbol Pura Banua

Pura Banua merupakan salah satu kompleks Pura Besakih yang berisi simbol-simbol sakral yang dapat kita gali nilai-nilai simbolisnya. Ada nilai-nilai penuh makna di balik simbol yang berada di Pura Banua tersebut. Secara umum Pura Banua itu adalah sebagai media pemujaan pada Tuhan untuk memohon kekuatan spiritual agar umat mampu mengelola kekayaan alam ciptaan Tuhan itu secara produktif dan efisien. Seperti apa Pura Banua itu?

Sesungguhnya manusia lahir ke bumi ini telah dibekali kekayaan berupa naluri untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Dalam Atharvaveda.VII.115.3 menyatakan bahwa sesungguhnya manusia lahir dengan bekal kekayaan yang ada dalam dirinya. Kekayaan itu berupa naluri untuk hidup dan berkembang. Hal itu tergantung pada manusia itu sendiri. Manusia hendaknya berusaha untuk mengelola hidupnya dan menyingkirkan naluri yang buruk dan mengembangkan naluri yang baik. Maksudnya upaya mencari kekayaan itu hendaknya dibatasi untuk mengembangkan jati diri sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan.

Sebagai ciptaan Tuhan manusia memiliki kemampuan untuk menguasai dirinya agar tidak terjebak oleh gejolak indrianya. Indria yang dapat dikuasai akan dapat menjadi kekuatan untuk menguatkan eksistensi diri konsisten berjalan di atas jalan dharma.

Upaya untuk mengembangkan naluri hidup yang positif dan mencegah naluri yang negatif tidak mudah dilakukan tanpa tuntutan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi mengelola sumber daya alam yang tergantung pada hukum Rta. Untuk melindungi naluri yang positif itu Tuhan dipuja sebagai Batari Sri sebagai Sakti Dewa Wisnu pelindung kekayaan. Adanya Pelinggih Gedong sebagai sarana pemujaan Batari Sri sebagai media untuk mengembangkan spirit dalam bentuk berbagai ide dan gagasan-gagasan untuk membangun kemakmuran bersama.

Ide maupun gagasan-gagasan tersebut bersumber dari pengembangan spiritual dari proses pemujaan pada Batara Sri sebagai manifestasi Tuhan. Dengan demikian ide maupun gagasan tersebut bersifat strategis jangka panjang. Artinya ide dan gagasan tersebut tidak akan sampai merusak alam itu sendiri sebagai sumber mengembangkan kemakmuran. Kalau dari awal pengembangan kemakmuran itu dengan pendekatan spiritual maka upaya mencari kemakmuran itu tidak akan bergeser dari kemakmuran untuk hidup bukan kemakmuran untuk mengembangkan keserakahan.

Karena kalau rakus dasarnya maka kemakmuran itu akan membawa malapetaka bagi manusia. Akan muncul ketidakadilan. Dari ketidakadilan itu akan muncul permusuhan di antara sesama manusia. Karena keserakahan itu muncul dari pengembangan naluri yang tidak baik. Atharvaveda tersebut menyatakan agar manusia berusaha untuk membuang naluri-naluri kotor. Dengan berkonsentrasi pada pemujaan pada Batari Sri itu sebagai media religius untuk membendung dan membuang naluri kotor tersebut.

Pemujaan Batari Sri di samping dengan media Pelinggih Gedong juga dengan media Dewa Nini yang disimbolkan dengan seikat padi terpilih dengan hiasan ritual khas Hindu di Bali. Simbol Dewa Nini ini mengandung makna agar ide-ide dan gagasan-gagasan tersebut diwujudkan dalam tataran fragmatis, sehingga tidak mengawang-awang tanpa wujud. Simbol Dewa Nini ini diambil dari padi terpilih agar menjadi contoh untuk terus dikembangkan secara produktif dengan tetap memperhatikan aspek-aspek strategis jangka panjang.

Simbol stana Dewa Nini ini menggunakan padi sebagai simbolnya mengandung makna bahwa ide dan gagasan kemakmuran itu benar-benar nyata wujudnya seperti padi dengan kualitas terpilih itu. Kemakmuran itu hanya angan-angan saja. Dewa Nini ini di stanakan di bagian hulu dari Jineng sebagai media penghormatan kepada Dewa Nini simbol Pradana dari Batara Sri tersebut. Pradana adalah lambang wujud meterial sebagai wadah Purusa.

Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.

Dalam Atharvaveda VII.115.4. dinyatakan ada kekayaan yang menguntungkan dan ada kekayaan yang tidak menguntungkan. Dalam Mantra Veda tersebut disertai dengan suatu doa semoga kekayaan yang menguntungkan selalu menyertai dan kekayaan yang tidak menguntungkan menjauh. Hal ini bermaksud agar manusia dalam menggunakan kekayaan itu tidak hanya menggunakan pendekatan hawa nafsu semata.

Kekayaan itu merugikan karena cara penggunaannya yang tidak menggunakan nilai-nilai kerohanian. Kekayaan tersebut akan senantiasa menguntungkan kalau penggunaannya menggunakan pendekatan daya spiritual dan kecerdasan intelektual. Agar daya spiritual itu berkembang maka dalam mengelola kekayaan itu dilakukan pemujaan pada Dewi Sri Sakti Dewa Wisnu. Lumbung itu simbol untuk memotivasi umat agar bisa hidup yang hemat dengan tepat.

Agar pengelolaan kekayaan hasil bumi ini ditiru oleh umat seluruhnya maka Jineng di Pura Banua ini adalah sebagai induknya Jineng di seluruh Bali. Dalam Rgveda VIII.45.41 ada suatu doa sbb: Ya Tuhan Yang Mahaesa, semoga melimpahkan kekayaan yang patut kami ditiru yang tersimpan di pegunungan atau di bawah tanah atau yang terbenam di samudera yang jumlahnya tak terhingga.

Mantra Rgveda ini dapat kita pahami sebagai suatu doa agar dalam mengelola kekayaan bumi ini senantiasa mendapat tuntunan Tuhan, sehingga pengelolaan kekayaan di bumi ini menjadi contoh bagi masyarakat luas. Dewasa ini bumi sudah semakin rusak karena pengelolaan kekayaan yang tersimpan di dalam bumi ini menggunakan pendekatan hedonistis. Artinya bumi diolah untuk memenuhi kenikmatan inderawi tanpa kendali.

Adanya balai Pesamuan dengan delapan tiang itu sebagai simbol bahwa dalam mengelola bumi ini dengan hasil-hasilnya hendaknya dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat luas. Segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan bersama harus dipikirkan bersama dengan semangat musyawarah, sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan. Kekayaan alam yang dikandung bumi ini bukan untuk suatu golongan tertentu saja. Kekayaan tersebut untuk semua umat manusia, termasuk makhluk hidup lainnya. Demikianlah nampaknya nilai-nilai yang tersembunyi di balik simbol sakral di Pura Banua Besakih. * wiana

http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/9/bd2.htm Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali Vaisyah krsivalah karyo- gopah sasya bhrtvratah, vartayukto grhopatah- ksetra palo tha Vaisyah.

(Slokantara, 37) Maksudnya:

Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.

BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.

Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.

Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.

Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.

Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran.

Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.

Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu.

Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.

Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.

Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.

Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.

Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.

Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa.

Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut gobyah

9. Pura Merajan Kanginan

Resi yadnya ngarania kapujan ring sang pandita, muang sang wruh ring kalingganing dari wwang (Dikutip dari Agastia Parwa).
Denah Merajan Kanginan

Maksudnya:

Resi yadnya namanya berbakti pada beliau Sang Pandita dan mereka yang paham akan hakikat hidup sebagai manusia.

HAKIKAT mengabdi pada kehidupan di dunia ini membutuhkan bimbingan guru yang sudah mencapai tingkatan hidup Pandita Acarya. Berguru pada Pandita Acarya itu bukan semata-mata untuk mendalami sastra kerohanian semata. Demikian juga tujuan belajar bukan semata-mata mencari keterampilan untuk mencari nafkah.

Tujuan berguru adalah agar memiliki kemampuan untuk menjalani hidup yang baik dan benar sesuai dengan norma yang ditetapkan dalam kitab suci. Termasuk di dalamnya berbakti pada guru yang berjasa memberikan kita ilmu dengan sejujur-jujurnya dan juga memberi penerangan jiwa sesuai dengan pertumbuhan diri kita masing-masing.

Demikian jugalah Ida Manik Angkeran, putra Mpu Siddhi Mantra dari Jawa Timur, memiliki tempat pemujaan keluarga di kompleks Pura Besakih yang disebut Merajan Kanginan. Ida Manik Angkeran adalah seorang pengabdi yang tulus untuk ikut serta dalam mengeksistensikan dinamika Pura Besakih sebagai tempat pemujaan umat Hindu di seluruh Bali.

Sebagai pengabdi yang tulus, Ida Manik Angkeran tentunya mendapat bimbingan dari para rohaniwan yang sudah sekaliber Pandita Acarya. Karena itulah di Merajan tempat pemujaan keluarga beliau dibangun juga Pelinggih Gedong yang khusus untuk memuja Mpu Beradah, salah satu guru spiritual Ida Manik Angkeran yang telah mencapai status Pandita Acarya. Merajan ini kemungkinan tidak diberikan sebutan khusus. Umatlah yang kemudian menyebutnya Merajan Kanginan.

Umumnya umat melihat Merajan Ida Manik Angkeran ini terletak di sebelah timur Pura Banua tempat memuja Batara Sri dan juga pusat Jineng atau lumbung umat Hindu di Bali. Sesungguhnya letak Merajan Kanginan ini adalah agak di selatan Pura Banua kalau dilihat dengan alat kompas.

Di Merajan Kanginan ini ada sepuluh pelinggih utama dan pelinggih pelengkap. Lima pelinggih terletak di areal dalam atau jeroan pura dan lima lagi terletak di areal tengah atau jaba tengah. Pelinggih di jeroan pura itu ada Pelinggih Balai Pengaruman dan yang di sebelahnya ada pelinggih yang disebut Gedong Busana di sudut pura.

Di Pelinggih ini ditempatkan berbagai perlengkapan sakral dari semua Pelinggih Pura Merajan Kanginan seperti busana dan perlengkapan lainnya. Di sebelah kiri dari Gedong Busana ini terletak pelinggih yang disebut Balai Tegeh. Pelinggih Balai Tegeh ini bertiang empat dan beratap ijuk.

Fungsi utama Pelinggih Balai Tegeh ini adalah sebagai Pelinggih Batara Tirtha. Umat Hindu di Bali pada zaman dahulu kalau yang daerahnya diserang hama semut umumnya mohon kekuatan spiritual dengan mohon Tirtha di Pura Merajan Kanginan ini sebagai sarana sakral untuk menghilangkan hama semut tersebut.

Di areal dalam atau jeroan pura terdapat Pelinggih Gedong Simpen yaitu pelinggih dengan tiang empat beratap ijuk sebagai Pelinggih untuk Mpu Beradah. Mpu Beradah inilah sebagai salah satu Pandita Acarya dari yang memiliki jasa besar bersama-sama pandita yang lainnya dalam menanamkan kehidupan beragama Hindu di Bali. Di areal jeroan juga terdapat pelinggih yang disebut Balai Pengaruman sebagai tempat menata berbagai keperluan upacara yang bertujuan untuk menjaga kesucian Pura Merajan Kanginan tersebut.

Di jaba tengah Pura Merajan Kanginan ini terdapat Pelinggih Pelengkap yaitu ada Balai Paebatan, dapur, Bebaturan, Balai Gong dan Balai Kulkul. Meskipun semuanya itu sebagai bangunan pelengkap, tetapi semuanya memiliki nilai yang tinggi sebagai media untuk mengembangan kehidupan yang berkualitas.

Misalnya ada balai paebatan dan agar dalam menyiapkan berbagai sarana yang berupa makanan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Salah satu syarat yadnya yang disebut Satvika Yadnya menurut Bhagawad Gita XVII.13 adalah adanya suguhan makanan yang disebut srsta annam, artinya makanan yang Satvika.

Dalam tradisi Hindu di India adanya suguhan makanan dalam setiap ada upacara yadnya disebut anna seva. Karena dalam Manawa Dharmasastra ada dinyatakan bahwa betapa pun besar dan mahalnya suatu upacara yadnya kalau ada orang yang kelaparan di sekitar upacara yadnya tersebut maka yadnya tersebut tidak akan berhasil meraih karunia Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan umat Hindu setiap melangsungkan upacara yadnya selalu disertai dengan jamuan makanan kepada para atithi yadnya atau tamu yang hadir diundang dalam upacara yadnya tersebut.

Adanya dapur dan balai paebatan di pura tersebut untuk menyiapkan berbagai keperluan upacara yadnya baik sebagai sarana kelengkapan upacara maupun untuk menjamu para tamu upacara. Tujuan adanya dapur dan balai paebatan itu untuk menyiapkan agar makanan tersebut makanan suci atau Satvika Ahara.

Melalui simbol dapur suci dan balai paebatan itu diharapkan umat agar dalam mencari makanan dan juga menyiapkan makanan menggunakan cara-cara yang dibenarkan oleh dharma dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya saat ada upacara saja umat menyiapkan makanan dengan cara-cara yang suci, tetapi justru upacara itu sebagai proses memotivasi umat agar dalam kehidupannya sehari-hari justru selalu mencari dan juga memilih dan menyiapkan makanan dengan cara-cara yang suci.

Demikian juga adanya Balai Kulkul dan Balai Gong di pura tersebut memiliki makna yang dalam juga. Balai Kulkul itu sebagai simbol untuk mengupayakan terpeliharanya keamanan atau santiraksa. Salah satu tujuan berbakti pada Tuhan adalah untuk mengembangkan upaya bersama untuk bisa menciptakan rasa aman dan damai dalam kehidupan bersama itu.

Dalam Manawa Dharmasastra pun pada Ksatria diwajibkan oleh Hyang Widhi agar berusaha untuk memberikan rasa aman (Raksanam) dan sejahtera (Dhanam) kepada masyarakat (Praja). Rasa aman dan sejahtera dalam masyarakat merupakan kebutuhan hidup yang paling utama dalam kehidupan di dunia ini.

Demikian juga adanya Balai Gong di Jaba Tengah Pura Merajan Kanginan ini sebagai simbol adanya keindahan dari seni dalam mewujudkan ajaran agama. Umat Hindu mengenai ajaran Satyam, Siwam dan Sundaram. Maksudnya agar umat menggunakan kesenian yang indah itu (Sundaram) untuk mewujudkan kebenaran (Satyam) dan kesucian (Siwam). Keindahan seni akan mubazir kalau bukan untuk Satyam dan Siwam.

· I Ketut Gobyah

 10. Pura Hyang Haluh (Pura Jenggala)

Di Pura Jenggala atau Pura Hyang Haluh di samping terdapat pelinggih Gedong sebagai pelinggih utama, terdapat juga dua buah Pelinggih Balai Pepelik dan sebuah Pelinggih Bebaturan, serta sebuah Pelinggih Panggungan untuk meletakkan sesajen. Yang patut kita renungkan lebih dalam adalah adanya Arca Pandita atau Resi dan Arca Garuda. Mengapa arca-arca di Pura Jenggala itu begitu penting diketahui makna dan simboliknya?
Denah Pura Jenggala


Arca Pandita atau Resi di sini menggambarkan bahwa dalam kehidupan di dunia ini upaya untuk mengikuti tradisi kehidupan kepanditaan. Dalam Sarasamuscaya 40 yang dinyatakan sumber dari Dharma adalah Sruti atau Mantra Veda Sabda Tuhan. Smrti adalah hasil renungan dari para resi setelah mempelajari Mantra Veda. Dari Mantra Veda Sruti itulah para resi mengingat-ingat kembali apa yang dipelajari dari Weda.

Dari renungan itulah para Resi menyusun kitab-kitab Smrti agar umat pada umumnya lebih mudah mengamalkan Dharma intisari dari Weda tersebut. Isi dari Smrti itulah juga sumber dari Dharma pula. Seorang dapat disebut resi apabila sudah dapat mendalami isi Weda tersebut sampai ia disebut sang Sista. Kebiasaan hidup para Pandita Resi yang Sista itu juga disebut sebagai sumber Dharma. Seseorang akan dapat mengatasi gelombang hidup duka dan duka di dunia ini apabila ia senantiasa berpegang pada Dharma yang didapatkan dari Sruti, Smrti dan Sistacara.

Arti Sistacara ini adalah tradisi hidup pandita ahli. Pengertian ahli di sini bukan ahli seperti ilmuwan dewasa ini. Sista tersebut adalah pandita yang sudah berhasil menghayati dengan sempurna Dharma yang terdapat dalam Weda Sruti dan Weda Smrti. Bukti keberhasilannya itu akan tampak dalam kebiasaan hidupnya sehari-hari.

Kebiasaan hidup Pandita yang Sistacara itulah yang dapat dijadikan pedoman hidup untuk mengatasi hiruk-pikuknya gelombang suka dan duka. Orang yang dapat mengatasi suka duka itulah yang dapat disebut sudah mencapai Atmanastuti atau hidup dengan kepuasan Atman. Mereka selalu hidup bahagia meskipun ada dalam keadaan suka dan duka. Artinya hiruk-pikuk kehidupan di luar dirinya sudah tidak mampu mengintervensi jiwanya. Inilah yang disebut dengan Atmanstusti sebagai tujuan dari pengamalan Weda.

Hal ini juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra II.6. Sruti diamalkan menjadi Smrti atau Dharmasastra. Dari Smrti inilah terus dirumuskan ke dalam kitab-kitab Sila seperti Itihasa dan Purana. Dalam kitab tersebut Sila itu dijabarkan dalam wujud cerita yang mengandung nilai sejarah. Karena itu disebut Itihasa. Kata Itihasa dalam bahasa Sansekerta artinya sejarah. Sejarah pengamalan Dharma inilah yang dikaryasastrakan oleh para resi menjadi Itihasa dan Purana atau histori yang distorikan bagaikan karangan dalam bentuk roman sejarah.

Dengan adanya Arca Resi dan Pura Jenggala ini hendaknya umat dalam mengatasi gelombang suka dan duka dalam hidup di dunia ini melakukan Resi Yadnya. Dalam kitab Agastia Parwa Resi Yadnya dinyatakan: Resi Yadnya ngarania kapujang ring Sang Pandita muang sang wruh ring kalingganing dadi wwang. Artinya, Resi Yadnya namanya berbakti pada pandita dan paham akan hakikat diri sebagai manusia.

Agar kita dapat memahami hakikat diri hidup sebagai manusia rajinlah secara teratur membacakan kitab sastra suci karya para resi. Dengan rajin membaca kitab-kitab sastra suci itu kita akan mendapatkan pencerahan diri secara bertahap sampai kitab benar-benar paham akan hakikat hidup di dunia ini. Dengan pemahaman itu seseorang akan dapat menyelenggarakan hidup ini lebih elegan tak mudah diombang-ambingkan oleh hiruk-pikuknya zaman Kali ini.

Adanya Arca Garuda di Pura Jenggala ini juga menggambarkan bahwa garuda itu adalah nama dewa yang dinyatakan dalam Weda dengan sebutan Dewa Garutma. Tetapi Arca Garuda ini kemungkinannya diambil dari cerita Amerta Mantana atau ceritra Mandara Giri dari kitab Adi Parwa. Resi Kasyapa memiliki dua istri yaitu Dewi Winata dan Dewi Kadru. Dua istrinya ini diberikan dua buah telor untuk dikeram.

Ternyata telor yang diberikan kepada Dewi Kadru menetas menjadi ribuan naga. Karena diikat suatu perjanjian, Dewi Winata menjadi budaknya naga putra Dewi Kadru. Setelah Dewi Winata berputra Garuda barulah dia dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga karena digantikan oleh Garuda. Garuda juga dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga setelah mendapatkan Tirtha Kamandalu dari Batara Wisnu. Garuda mendapatkan air suci itu setelah bertempur dengan para dewa di sorga.

Puncak cerita Dewa Wisnu akan memberikan Tirtha suci tersebut kalau Garuda mau menjadi wahana atau kendaraan Dewa Wisnu. Garuda pun amat bersedia menjadi wahana Dewa Wisnu. Dengan Tirtha suci itulah Garuda dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga. Cerita tentang Garuda sesungguhnya cukup panjang diceritakan di kitab Adi Parwa.

Yang utama direnungkan adalah makna Arca Garuda dalam membebaskan dirinya dari perbudakan naga ini. Kata naga di samping berarti ular besar juga berarti dunia. Ini artinya manusia atau Atman kita akan dapat mencapai sorga apabila manusia dapat membebaskan diri dari perbudakan dunia yang fana ini. Ini bukan berarti kita harus hidup menjauhi dunia. Yang penting dunia ini jangan menjadi tujuan kita.

Dunia yang fana ini adalah alat atau media manusia mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia sekala dan niskala. Hal ini akan dapat dicapai apabila kita mendapatkan persatuan dengan Tuhan sebagai Garuda menjadi alat wahananya Dewa Wisnu. Tirtha Kamandalu itu adalah simbol suci untuk mencapai kehidupan yang baik, tidak melalui pengumbaran hawa nafsu. Justru kehidupan yang mulia itu dicapai dengan melalui pengendalian nafsu atau Kamandalu. Hidup bahagia itu bukan dengan pengumbaran hawa nafsu. Dengan itulah Sang Hyang Atma akan mendapatkan peningkatan terus di Para Loka sampai mencapai apa yang disebut Moksa Loka. Itulah tujuan tertinggi dari upacara Pitra Yadnya.

* wiana Pura Jenggala, Hulu Prajapati di Bali

http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/30/bd2.htm

Nityamewa sukham svarge sukham duhkhamilobhayam. Narake duhkhamevaitam mokse tu paraman sukham. (Sarasamuscaya 362)

Maksudnya

Di Sorga Loka hanya kegembiraan yang dirasakan. Di dunia yang fana ini suka duka yang dirasakan silih berganti. Di neraka loka penderitaan saja yang dirasakan. Tetapi di Moksha Loka, kebahagiaan yang terluhur yang didapatkan.

Salah satu kompleks Pura Besakih ada yang bernama Pura Jenggala. Pura ini juga disebut oleh umat Pura Hyang Haluh. Pura ini terletak di sebelah kanan Candi Bentar Pura Panataran Agung di seberang jalan atau di sebelah utara jalan atau menurut pengelihatan umum di barat jalan berseberangan dengan Candi Bentar Pura Penataran Agung Besakih.

Mengapa pura ini bernama Pura Jenggala dan Pura Hyang Haluh, saya belum menjumpai sumber penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa ada hubungannya dengan Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, hal tersebut sungguh masih sangat samar sekali.

Namun dari kata Hyang Haluh kemungkinan lain nama dari sebutan Ida Ratu Ayu. Kata Hyang artinya yang suci. Kata Haluh mungkin berasal dari kata Galuh yang menunjukkan identitas wanita cantik atau ayu.

Dengan demikian Hyang Haluh itu identik atau juga lain nama dari Ida Ratu Ayu. Pelinggih utama di Pura Jenggala atau Hyang Haluh ini adalah sebuah Gedong beratap ijuk sebagai tempat pemujaan Ida Ratu Ayu. Ida Ratu Ayu ini adalah salah satu manifestasi Siwa Durgha sebagai penguasa Setra.

Di setra desa pakraman umumnya disebut Sedahan Setra ada juga yang menyebut Siwa Bairawa. Pura Jenggala ini oleh Desa Pakraman Besakih difungsikan sebagai Pura Prajapati. Saat ada orang ngaben di pura inilah dilangsungkan upacara ngendagin atau ngebug tanah untuk membangunkan roh orang yang akan diaben. Caranya dengan memukul tanah tiga kali, tentunya dengan suatu ritual tertentu.

Upacara ini ada juga yang dipimpin oleh Pandita Dwijati. Memukul tiga kali ini adalah suatu simbol kebaikan atau kesucian. Tiga kali itu simbol tujuan prosesi upacara Pitra Yadnya untuk mengantarkan Atman yang meninggal dari Bhur Loka dan terus diharapkan mencapai Swah Loka. Dalam Lontar Gayatri dilukiskan bahwa saat orang itu meninggal Atman atau rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben melalui Ngaskara maka rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atman Wedana seperti upacara Nyekah, Memukur atau Maligia maka Sang Hyang Atma sebutannya meningkat menjadi Dewa Pitara.

Saat roh masih dalam status Preta keluarganya belum mampu menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati. Sedangkan stana sementara Sang Roh adalah Sanggah Cukcuk yang umumnya ditancapkan di bagian hulu kuburan. Saat itulah ada upacara matur piuning atau permakluman dan permohonan kepada Sang Hyang Sedahan Setra yang berstana di Prajapati.

Kalau sudah saatnya akan melaksanakan upacara ngaben tiga hari sebelumnya ada proses upacara ada yang menyebut upacara ngendagin atau upacara ngebug tanah yang bertujuan memanggil sang roh yang masih dalam status Preta dengan permakluman atau atur piuning pada Sedahan Setra yang di Pura Jenggala disebut Ida Ratu Ayu lain sebutan dari Sang Hyang Siwa Durgha.

Jadinya Pura Prajapati itu adalah salah satu bagian dari simbol Para Loka tempat sementara sang Preta berada sebelum diupacarai oleh keluarganya yang masih hidup. Keberadaan Para Loka ini harus diyakini sebagai umat Hindu. Kalau tidak yakin pada keberadaan Para Loka ini menurut Sarasamuscaya 110 maka kita akan sengsara dalam hidup ini dan kelak.

Menurut Lontar tentang Pitra Yadnya seperti Yama Purana Tattwa menyatakan bahwa kalau roh yang masih berstatus Preta itu tidak distanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya maka sang roh akan menjadi apa yang disebut Atma Diyadiyu dan akan gentayangan ke desa-desa mengganggu kehidupan di dunia sekala. Mensatnakan roh yang masih berstatus Preta itu dilakukan dengan Tirtha Pengentas Tanem. Nanti kalau sudah ngaben akan dilanjutkan dengan Tirtha Pengentas Pemuput.

Demikianlah fungsi Pura Prajapati yang hulunya di Pura Jenggala di kompleks Pura Besakih. Kemungkinan istilah Jenggala ini berasal dari kata Jeng dan Gala. Jeng artinya sebutan kehormatan untuk wanita dan kata gala dalam bahasa Jawa kuno artinya lampu penerangan. Mungkin pula kata jeng itu berasal dari kata Rahajeng yang artinya rahayu atau selamat. Dan dari kata gala yang berarti lampu ini menjadi kata galang.

Dengan demikian tujuan dari permohonan kepada Sedahan Setra atau Ida Ratu Ayu ini agar roh yang masih Preta ini terus-menerus mendapatkan penerangan kerahayuan dari Tuhan yang disebut Ida Ratu Ayu atau Sedahan Setra. Dengan demikian istilah Jenggala adalah sebutan lain dari Ratu Ayu sebagai Dewi yang berfungsi memberikan penerangan kepada roh yang masih berada di bawah pengawasan Ida Ratu Ayu yang berstana di Pelinggih Gedong di Pura Jenggala itu.

Sebelum dilakukan upacara ngaben roh atau Preta yang berada di Setra mendapatkan penerangan di setra lewat Pura Prajapati. Karena saat masih hidup di dunia sekala ini manusia terus-menerus menghadapi gelombang suka dan duka. Barang siapa yang bisa tidak kacau atau dapat mengendalikan diri dalam gelombang suka duka di dunia sekala ini ialah dapat disebut manusia hidup berbahagia.

Dalam Bhagawad Gita II.15 ada dinyatakan Samaduhkham dhiram. Artinya, Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Karena di dunia ini hidup akan selalu menghadapi suka dan duka sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sarasamuscaya di atas.

Roh yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka. Karena itu perlu diupacarai ngaben. Upacara ngaben itu hanya menambah karma baik dari sang roh kalau ngaben itu dilakukan dengan upacara Satvika Yadnya atau upacara yadnya yang berkwalitas. Tetapi kalau sebaliknya justru dapat menambah dosa. Karena yang paling menentukan adalah karma yang bersangkutan. Kalau lebih banyak karma buruk yang diperbuat upacara ngaben itu hanya menambah karma baiknya saja, sehingga karma buruknya sedikit berkurang. Hanya permohonan umat agar leluhur yang diaben mendapatkan sorga.*

I Ketut Gobyah

11. Pura Basukihan

Di kaki Pura Penataran Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan menaiki tangga Pura Penataran Agung, terdapat sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu (tingkat tujuh). Pura ini bernama Pura Basukihan di tempat mana menurut perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu (lima jenis logam dengan kelengkapan upakaranya).
Denah Pura Basukihan


Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem. Dari kelengkapan palinggih-palinggih yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura Basukihan itu adalah pura Puseh Jagat, Pura Penataran Agung berfungsi sebagai pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah pusat dan semua pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah pura Penyungsung Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu.

Perjalanan Mpu Markandeya

Singkat cerita, dari Gunung Raung di Jawa Timur, beliau beserta penduduk sekitar melakukan migrasi merambah hutan ke Pulau Bali. Ekspedisi pertama ini gagal total. Banyak pengikut beliau yang mati karena sakit atau karena binatang hutan raya (macan, ular, dll). Beliau dan sisa pengikutnya lalu kembali ke Gunung Raung.

Melalui tapa beliau kembali mendapat wahyu, agar sebelum merambah hutan, mengadakan upacara "panca dathu" di kompleks pertapaan dan pemujaan kuno di Gunung Agung. Dan kalau ada pengikut beliau yang sakit agar disembuhkan di campuhan yang suci. Ekspedisi kedua lalu dilakukan dan disesuaikan dengan wahyu yang beliau dapatkan, karena itu ekspedisi ini berhasil.

Tempat beliau mengadakan upacara "panca dathu" kini menjadi Pura Basukian dan kompleks pertapaan dan pemujaan kuno di Gunung Agung itu menjadi Pura Besakih. Campuhan tempat beliau menyembuhkan pengikut-pengikutnya yang sakit adalah campuhan di Ubud yang saya ceritakan di-awal jawaban ini. Diatas campuhan ini pengikut beliau lalu mendirikan Pura Gunung Lebah. Pesraman beliau kini menjadi Pura Gunung Raung di Desa Taro (di utara ubud, di barat tampaksiring). Warisan beliau yang sampai saat ini masih lestari adalah sistem BANJAR dan sistem pengairan SUBAK. Maharsi Markandeya sangat besar perannya di dalam perkembangan Agama Hindu di bali.

12. Pura Penataran Agung

Di sebelah utara Pura Basukihan terletak megah Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung inilah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning Batara Kabeh. Kebanyakan orang menyangka Pura Besakih itu hanya Pura Penataran Agung saja, padahal masih banyak lagi pura pura disekitar Pura Penataran Agung yang menjadi penyiwiannya, seperti pura pura pedharman, dan kahyangan kahyangan lain. Pujawali di Pura Penataran Agung jatuh pada hari Purnamaning Kapat, sedang mengaci lainnya ialah "Bhatara Turun Kabeh" pada setiap hari Purnama Kedasa, Tawur Panca Wali Krama sepuluh tahun sekali dan Tawur Eka Dasa Rudra 100 tahun Caka sekali.
Denah Penataran Agung

Pura Penataran Agung terdiri dan 7 mandala yang melambangkan "Sapta Loka" atau tujuh lapisan alam, di tiap-tiap petak terdapat bangunan-bangunan palinggih. Silakan meng-klik masing-masing mandala untuk memperoleh keterangan yang lebih rinci.

13. Pura Batu Madeg

Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki keutara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat.
Denah Pura Batu Mandeg

Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima.

Palinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain:

Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini.

Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah.
Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh.
Meru tumpang II Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.
Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing.
Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
Bale Tegeh Palinggih Lingga.
Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.
Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur.
Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.
Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura Batu madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider, Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.
14. Pura Batu Kiduling Kreteg
Dari Pura Penataran Agung ke timur melewati jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharman dan pada ujung timur terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Brahma. Di dalam lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin Kreteg dan kadang Pura Kiduling Kreteg, mungkin karena tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur jembatan dan seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada di Pura Penataran Agung . Ini bisa dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya tidak sepenuhnya menghadap ke Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu di desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura Besakih Purusa. Adapun bangunan-bangunan pelinggih yang terdapat di Pura Kiduling Kreteg antara lain:
Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang Brahma, yang oleh umum disebut Bhatara Agung Sakti.
Meru Tumpang 7 Pelinggih Bhatara Bayu, yang oleh umum disebut I Ratu Bagus Bayusan.
Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Swa.
Meru tumpang I I Palinggih Ida Ratu Bagus Cili.
Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Soha.
Meru tumpang 3 Palinggih Ida Ratu Sihi.
Meru tumpang 3 Palinggih Dewa-Dewi.
Bale Pesamuan Agung.
Bale Agung.
Bale Pegat.
BalePawedaan.
Bebaturan.
Bale Tegeh.
Bebaturan.
Panggungan.
Bale Gambang.
Bale Gong.
Candi Bentar.
Bale Pesambiyangan.

Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan, sedang Aci Panyebab Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih Kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen pelinggih berwarna merah.

15. Pura Gelap

Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan), terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana distanakan Hyang Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.

Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.

WEDAWAKYA
Memuja Batara Iswara
Aham rudrebhir vasubhih caramy
aham adityair uta visvadevaih,
aham mitravarunobha bibharmy
aham indragni aham asvinobha.
(Rgveda.X.125.1).
Maksudnya:
Aku gerakkan kekuatan alam menjadi tenaga dan kekayaan. Aku bercahaya menjadi kekuatan yang cemerlang. Aku menyangga sumber kekuatan alam dalam wujud air dan cahaya. Aku adalah pusat energi, cahaya sebagai kehidupan yang datang dari matahari, udara, api dan segala kekuatan alam yang berguna.

PURA Besakih sebagai tempat pemujaan Tuhan adalah simbol Bhuwana Agung. Hal ini sangat sesuai dengan Mantra Yajurveda XXXX.1 yang menyatakan bahwa alam semesta inilah stana Tuhan yang sesungguhnya. Sebagai lambang alam semesta Pura Besakih dibagi menjadi dua bagian yaitu Soring Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Soring Ambal-ambal itu lambang alam bawah yang disebut Sapta Patala. Sedangkan Luhuring Ambal-ambal lambang alam atas yang disebut Sapta Loka.

Seluruh kompleks Pura Besakih itu terdiri atas 20 kompleks pura. Ada empat pura yang disebut Pura Catur Dala atau Catur Loka Pala yaitu Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batu Madeg. Di tengah-tengah ada Pura Penataran Agung Besakih terdiri atas tujuh Mandala atau tujuh lapisan alam atas atau Sapta Loka.

Pura Gelap sebagai salah satu Pura Catur Lawa adalah sebagai Pura Pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Iswara pelindung arah timur alam semesta atau Bhuwana Agung. Nama-nama pura di kompleks Pura Besakih itu memang sangat khas lokal Bali. Tetapi di balik ciri khas lokal itu terbungkus konsep yang sangat universal. Memang pemuka-pemuka Hindu di masa lampau sudah menggunakan konsep ''berpikir universal berlaku lokal''. Meskipun tidak dengan istilah seperti itu.

Istilah ''gelap'' dalam nama Pura Gelap ini bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata ''gelap'' dalam nama Pura Gelap ini berasal dari bahasa Kawi yang artinya petir atau kilat dengan sinarnya yang putih menyilaukan itu. Pura Gelap sebagai media pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara yaitu dewanya sinar. Bumi ini bisa menjadi wahana kehidupan karena adanya sinar matahari. Sinar matahari inilah sebagai pemimpin sumber-sumber alam lainnya sehingga berfungsi memberikan kehidupan pada isi alam ini.

Tumbuh-tumbuhan meskipun disiram dengan air yang memadai tidak akan bisa hidup tanpa kena sinar matahari. Karena itu dalam kutipan Mantra Rgveda di atas dinyatakan Tuhan dalam wujud cahaya matahari itulah sebagai sumber kekuatan alam. Rohani orang-orang suci pun akan semakin kuat dengan meditasi pada cahaya alam tersebut. Karena itu pada zaman dulu, konon, Pura Gelap ini tempat meditasi para pandita maupun orang yang menyiapkan diri menjadi pandita.

Pura ini juga dinyatakan sebagai penegak dan pemelihara kesucian ''kependitaan''. Pura Gelap lambang dari pusat sinar Bhuwana Agung. Dengan sinar alam semesta ciptaan Tuhan ini semua kekuatan unsur alam ini menjadi berfungsi sebagai sumber kehidupan semua makhluk hidup penghuni alam ini. Karena itu Pura Gelap ini menjadi pusat meditasi umat manusia yang berkehendak membangkitkan sinar suci yang bersemayam dalam dirinya atau di Bhuwana Alit.

Kalau sinar Bhuwana Agung dapat terpadu dengan sinar di Bhuwana Alit atas usaha umat manusia maka keharmonisan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pun terjadi. Hal ini sebagai salah satu penyebab terwujudnya kehidupan yang bahagia atau hita karana. Pura Gelap tidak semata-mata sebagai tempat meditasinya para pandita, tetapi juga sebagai tempat meditasi semua umat terutama mereka yang ingin mengembangkan kepemimpinannya secara baik dan benar.

Areal Pura Gelap ini mula-mulanya tidak begitu besar. Setelah direhabilitasi pura ini diperluas bahkan sekarang menggunakan Kori Agung. Sebelumnya hanya menggunakan Candi Bentar sebagai pintu masuknya. Karena pura ini merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pura Penataran Agung. Sebelumnya hanya Pura Penataran Agung yang menggunakan Kori Agung atau juga disebut Candi Kurung.

Pelinggih utama di Pura Gelap Besakih ini adalah Meru Tumpang Tiga sebagai media untuk memuja Batara Iswara sebagai manifestasi Tuhan pelindung arah timur dari alam semesta ini. Batara Iswara juga sebagai Dewa kecemerlangan dan kecerahan dari Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Atap Meru yang bertingkat-tingkat itu lambang pengelukunan Dasaksara dan lambang urip bhuwana.

Pengelukunan Dasaksara adalah Aksara ''Om'' yang bisa dikembangkan menjadi tiga aksara, lima, tujuh sampai sebelas aksara. Maknanya secara filosofis sama. Meru Tumpang Tiga makna filosofisnya sama dengan Meru Tumpang Lima sampai Sebelas.

Menurut Kekawin Dharma Sunia, Meru itu adalah lambang alam atau Bhuwana stana Tuhan yang sesungguhnya. Meru Tumpang Tiga di Pura Gelap lambang Tri Bhuwana yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka. Artinya Tuhan sebagai Batara Iswara menyinari kehidupan di Tri Bhuwana tersebut. Di dalam Meru Tumpang Tiga ini terdapat batu simbol Lingga stana Batara Siwa. Di samping itu, di Pura Gelap ada Pelinggih Sanggara Agung yang menyerupai Padmasana untuk menstanakan tirtha yang diambil dari Pura Tirtha saat ada upacara penting di Pura Penataran Agung Besakih.

Di Pura Gelap terdapat juga Pelinggih Dasar Sapta Patala. Pelinggih ini sebagai media memuja Tuhan sebagai jiwa alam bawah yang terdiri atas tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala. Unsur-unsur Sapta Patala ini setelah mendapatkan sinar alam semesta barulah akan berfungsi sebagaimana mestinya. Kerja sama alam inilah yang menghasilkan unsur-unsur alam yang menyebabkan berlangsungnya kehidupan di bumi ini.

Oleh karena itu, manusia hendaknya tidak merusak kerja sama unsur alam ini. Karena kerja sama unsur alam ini berlangsung berkat adanya Rta yaitu hukum alam ciptaan Tuhan. Merusak proses alam sesuai dengan Rta berarti dosa karena tergolong perilaku melawan takdir Tuhan.
* I Ketut Gobyah

16. Pura Pengubengan

Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan. Di sini terdapat pelinggih pokok meru tumpang 11 di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentar dan tembok penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini yang tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu dipersembahkan di Pura Pengubengan ini.

Sama halnya dengan dan Pura Peninjoan, dari sinipun pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak nampak. Sesungguhnya baik sekali apabila pada hari-hari tertentu (Rerainan) kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan dan Pura Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal berkunjung ke Pura Pura itu termasuk Yadya yang disebut Tirtha Yatra, juga kita mengetahui secara langsung pura-pura itu. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.

17. Pura Batu Tirtha
Tempatnya tidak begitu jauh dan Pura Pengubengan yaitu disebelah timurnya kira-kira 10 menit perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha atau air suci yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula di sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah maupun merajan. Piodalan di pura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.

18. Pura Batu Peninjoan 

Letak Pura ini agak kebarat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai kering tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan kita akan sampai di Pura Peninjoan disebuah bukit kecil. Di sana terdapat sebuah Meru tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya, sewaktu beliau merencanakan pembanguan dan memperluas Pura Besakih ini yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang. Di tempat inilah Empu Kuturan menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau ke Besakih.

Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat Hindu. Setelah beliau wafat beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa Kemanungsan tidak ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Umat Hindu dan untuknya distanakan di Meru tumpang 9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti (Padangbai - Karangasem). Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih di Pura Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas, demikian pula pantai dan daratan pulau Bali di sebelah selatan kelihatan indah sekali. Selain dari meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan di Pura Peninjoan pada hari Wraspati Wage Tolu.

19. Komplek Pedarman

Kompleks Pura Padharman di Besakih
Padharman Ida Dalem Klungkung
Cinaritan linggih I Dewa Tagal Besung meru tumpang solas; Linggih I Dewa
Samplangan meru tumpang sia abungkul,
Linggih I Dewa Enggong meru tumpang pitu abungkul,
linggih I Dewa Sagening meru tumpang lima abungkul,
linggih I Dewa Made meru tumpang telu abungkul
(kutipan Raja Purana Pura Besakih)
Maksudnya:
Diceritakan pelinggih I Dewa Tegal Besung Meru Tumpang Sebelas, pelinggih I Dewa Samplangan Meru Tumpang Sembilan, Palinggih I Dewa Enggong Meru Tumpah Tujuh, pelinggih I Dewa Sagening Meru Tumpang Lima, pelinggih I Dewa Made Meru Tumpang Tiga.
Denah Pura Pedarman


Adanya tradisi pendirian Pura Padharman di kompleks Pura Besakih maupun di luar Pura Besakih diperkirakan sebagai pengaruh tradisi Hindu dari Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur. Demikian juga halnya dengan Pura Padharman Ida Dalem Klungkung. Pura Padharman Ida Dalem Klungkung ini adalah Pura Padharman yang terbesar di antara Pura Padharman yang ada di kompleks Pura Besakih.

Keberadaan pelinggih di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung amat sesuai dengan bunyi teks kutipan Raja Purana Pura Besakih tersebut di atas. Menurut keterangan Drs. Ida Bagus Putu Purwita (sekarang beliau sudah dwijati) bahwa Pura Padharman Ida Dalem Klungkung ini sebelum Gunung Agung meletus Maret 1963 berbentuk Prasada. Palinggih Prasada ini terbuat dari batu bata mirip candi-candi di Jawa. Hanya candi di Jawa menggunakan batu andesit.

Seperti Prasada beratap sebelas dibuat dengan batu bata dan pintu masuknya pada atap pertama bertuliskan ''Sang Hyang Eka Twa Dalem Ketut Kepakisan''. Hal ini menunjukkan bahwa di Prasada beratap sebelas ini adalah Padharman dari raja pertama dari keturunan Mpu Kepakisan dari Jawa Timur yang bergelar Ida Dalem Ketut Krsna Kepakisan. Prasada beratap sembilan sebagai Padharman dari Ida Dalem Sri Semara Kepakisan atau sering disebut Dalem Ketut Ngulesir.

Prasada beratap tujuh juga dibuat dari batu bata sebagai Padharman Ida Dalem Baturenggong. Prasada beratap lima sebagai Padharman Ida Dalem Sagening. Sedangkan Prasada beratap tiga sebagai Padharman Ida Dalem Dimade. Raja yang bergelar Ida Dalem Dimade inilah sebagai Raja terakhir yang bertahta atau purinya di Gelgel atau Sweca Pura. Saat itu, Puri Ida Dalem di Samprangan disebut Linggarsa Pura.

Setelah Ida Dalem Dimade pusat kerajaan berpindah ke Klungkung dengan purinya disebut Smara Pura. Selanjutnya istilah Pura untuk menyebutkan tempat suci seperti Pura Kahyangan, maka pusat kerajaan pun disebut Puri tidak lagi disebut Pura. Di samping Prasada sebagai pelinggih utama terdapat juga dua Pelinggih Gedong beratap ijuk dan ada Meru Tumpang Lima dan Tumpang Tiga.

Demikian keberadaan pelinggih-pelinggih di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung sebelum Gunung Agung meletus bulan Maret tahun 1963. Pada waktu Gunung Agung meletus tahun 1963 pelinggih Prasada tersebut hancur semuanya. Untuk memperbaiki Pura Padharman Dalem Klungkung tersebut digunakanlah Meru. Hanya pelinggih Prasada yang beratap sebelas stana Ida Dalem yang pertama saja dikembalikan bentuknya semula berupa Prasada juga. Sedangkan yang lainnya digunakan pelinggih Meru dengan fungsi sama seperti waktu berbentuk Prasada.

Tentang pendirian Padharman di kompleks Pura Besakih menurut Lontar Padma Bhuwana dimulai sejak tahun Saka 1400 atau tahun 1478 Masehi. Sedangkan menurut Lontar Babad Sukahet pendirian padharman di Besakih tahun Saka 1465 atau tahun 1543 Masehi. Bila tahun ini dihubungkan dengan periodisasi tahun pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali, maka pada tahun-tahun tersebut adalah saat pemerintahan Dalem Baturenggong di Bali yang berkeraton di Gelgel atau Sweca Pura. Demikian dinyatakan dalam skripsi Drs. Ida Bagus Putu Purwita (sekarang beliau sudah dwijati) tentang pengertian Padharman di Bali.

Nampaknya Pura Padharman Ida Dalem Klungkung didirikan oleh setiap generasi dari saat kerajaan berkeraton di Sweca Pura sampai di Smara Pura atau kota Klungkung sekarang. Ida Dalem Dimade sudah distanakan di Pelinggih Prasada beratap tiga adalah raja yang terakhir berkeraton di Gelgel. Ini berarti raja yang mendirikan Padharman untuk Ida Dalem Dimade adalah raja yang berkeraton di Smara Pura. Karena tidak mungkin Ida Dalem Dimade membuatkan pelinggih Padharman untuk diri beliau.

Untuk memuja leluhurnya raja-raja di Bali menggunakan istilah Padharman sebagai pengaruh tradisi Hindu pada Kerajaan Majapahit khusus untuk memuja roh suci leluhur orang-orang yang terkemuka dalam kehidupan masyarakat seperti raja, tokoh masyarakat dan para pandita atau resi. Sedangkan untuk memuja roh suci leluhur atau Dewa Pitara masyarakat pada umumnya menurut Lontar Purwa Bumi Kamulan dan beberapa lontar lainnya digunakan Kamulan Taksu sebagaimana diajarkan oleh Mpu Kuturan.

Kamulan Taksu ini menurut Lontar Siwagama didirikan di setiap hulu pekarangan rumah keluarga Hindu di Bali. Kalau keluarga tersebut meluas dan sampai berkembang minimal sepuluh pekarangan maka pemujaan bersama untuk leluhur itu disebut Merajan Gede. Kalau sampai minimal 20 pekarangan disebut Pura Ibu dan minimal 40 pakarangan disebut Pura Dadia atau Panti.

Untuk pemujaan umat yang satu klan atau satu wangsa disebut Pura Kawitan. Keberadaan sistem Wangsa dalam masyarakat Hindu di Bali untuk menguatkan sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena pemujaan sebelumnya akan menguatkan pemujaan selanjutnya. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra. Ini artinya pemujaan leluhur itu untuk menguatkan pemujaan pada Tuhan. Asal jangan berhenti pada pemujaan leluhur saja.

Itu artinya, sistem Wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial dengan paradigma tinggi-rendah (tidak setara antarwangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra. Sistem Wangsa untuk membangun keakraban atau kerukunan famili, bukan untuk menentukan kasta atau varna seseorang.

Umat dalam satu wangsa itu ada bermacam-macam profesinya. Ada sebagai pandita atau pinandita, ada sebagai birokrat, tentara atau politisi, ada sebagai pengusaha dan ada juga sebagai petani atau buruh.

* Ketut Gobyah

http://www.babadbali.com/pura/plan/besakih.htm

No comments:

Post a Comment