Desa Penglipuran Bangli

Keberadaan Desa Adat Penglipuran
Desa Penglipuran adalah sebuah desa di kabupaten Bangli, Bali, tepatnya di kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli. Desa Penglipuran terletak pada jalur wisata Kintamani, sejauh 5 Km dari pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar. Desa ini berudara sejuk karena terletak 700 m di atas permukaan laut. Luas Desa Adat Penglipuran mencapai 112 hektare, terdiri atas 37 hektare hutan bambu yang dimanfaatkan masyarakat setempat untuk kerajinan tangan dengan sistem tebang pilih, ladang seluas 49 hektare, dan untuk perumahan penduduk seluas 12 hektare dengan batas wilayah desa adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan desa adat Gunaksa, dan di sebelah barat Tukad, sedangkan di sebelah utara desa adat Kayang.  Jumlah penduduknya 743 orang,
Desa Penglipuran
kebanyakan dari mereka hidup sebagai petani dan hanya sebagian kecil sebagai pegawai negeri. Tari-tarian dan cenderamata berkembang dengan baik di desa terpencil ini.
Desa ini merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional, sehingga menampilkan wajah pedesaan yang asri. Keasrian desa adat tersebut sudah bisa dirasakan begitu memasuki kawasan pradesa yang memaparkan kehijauan rerumputan dan deretan bambu yang jadi pagar desa. Itu adalah area catus pata atau area tapal batas untuk masuk ke Penglipuran. Adapun daerah penerimanya ditandai dengan Balai Wantilan, Balai Banjar adat, dan ruang pertamanan terbuka. Di sana terdapat daerah parkir dan fasilitas KM/WC bagi pengunjung. Area berikutnya adalah areal tatanan pola desa yang diawali dengan gradasi ke fisik desa secara liniar membujur ke arah utara dan selatan. Rumah-rumah itu dibelah oleh sebuah jalan utama desa yang ditutup oleh bebatuan dan ditamani rerumputan di kiri kanannya. Area pemukiman serta jalan utama desanya merupakan kawasan bebas kendaraan terutama roda empat. Pada sepanjang jalan setapak itu terdapat ratusan rumah, berderet berimpitan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu bata merah atau anyaman bambu. Pintu masuk gerbang rumah penduduk itu sempit, hanya berukuran satu orang dewasa, dan bagian atas pintunya menyatu dengan atap gerbang yang terbuat dari bambu. Keheningan menyergap ketika menelusuri jalan setapak dari bebatuan yang bercampur dengan kerikil.  Penataan fisik dari struktur desa tersebut tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun-temurun.
Desa ini memiliki potensi budaya yang hingga saat ini masih dilestarikan dalam bentuk rumah tradisional yang membedakan desa ini dari desa-desa yang lainnya. Perlu diketahui, Desa Penglipuran adalah salah satu desa tradisional atau desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Tradisi begitu kukuh dipegang oleh masyarakatnya, terutama yang berkaitan dengan penataan pekarangan rumah. Di tengah gempuran arus modernisasi, keteguhan masyarakat Pengelipuran tampak dari rapinya penataan kawasan hunian masyarakat setempat.

Sejarah Desa Adat Penglipuran
Dari sudut pandang sejarah dan menurut para sesepuh, kata Penglipuran berasal dari kata “Pengeling Pura” yang berarti tempat suci mengenang para leluhur. Tempat ini sangat berarti sejak leluhur mereka datang dari desa Bayung Gede ke Penglipuran yang jaraknya cukup jauh, oleh karena itu masyarakat Penglipuran mendirikan pura yang sama sebagaimana yang ada di desa Bayung Gede. Dalam hal ini berarti masyarakat Penglipuran masih mengenal asal usul mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa Penglipuran berasal dari kata “Penglipur” yang berarti “penghibur” karena pada jaman kerajaan tempat ini dijadikan tempat peristirahatan.
Penglipuran memiliki dua pengertian, yaitu pangeling yang kata dasarnya “eling” atau mengingat. Sementara pura artinya tanah leluhur. Jadi, penglipuran artinya mengingat tanah leluhur. Kata itu juga bisa berarti “penghibur” yang berkonteks makna memberikan petunjuk bahwa ada hubungan sangat erat antara tugas dan tanggung jawab masyarakat dalam menjalankan dharma agama.
Masyarakat desa adat penglipuran percaya bahwa leluhur mereka berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani.Sebelumnya desa Panglipuran bernama Kubu Bayung. Pada jaman dahulu raja bali memerintahkan pada warga-warga di Bayung Gede untuk mengerjakan proyek di Kubu Bayung, tapi akhirnya para warga tersebut memutuskan untuk menetap di desa Kubu Bayung. Dilihat dari segi tradisi, desa adat ini menggunakan sistem pemerintahan hulu apad. Pemerintahan desa adatnya terdiri dari prajuru hulu apad dan prajuru adat. Prajuru hulu apad terdiri dari jero kubayan, jero kubahu, jero singgukan, jero cacar, jero balung dan jero pati. Prajuru hulu apad otomatis dijabat oleh mereka yang paling senior dilihat dari usia perkawinan tetapi yang belum ngelad. Ngelad atau pensiun terjadi bila semua anak sudah kawin atau salah seorang cucunya telah kawin. Mereka yang baru kawin duduk pada posisi yang paling bawah dalam tangga keanggotaan desa adat. Menyusuri jalan utama desa kearah selatan anda akan menjumpai sebuah tugu pahlawan yang tertata dengan rapi.Tugu ini dibangun untuk memperingati serta mengenang jasa kepahlawanan Anak Agung Gede Anom Mudita atau yang lebih dikenal dengan nama kapten Mudita. Anak Agung Gde Anom Mudita, gugur melawan penjajah Belanda pada tanggal 20 November 1947. Taman Pahlawan ini dibangun oleh masyarakat desa adat penglipuran sebagai wujud bakti dan hormat mereka kepada sang pejuang.Bersama segenap rakyat Bangli, Kapten Mudita berjuang tanpa pamrih demi martabat dan harga diri bangsa sampai titik darah penghabisan.
 
Desa Penglipuran
Keunikan Desa Adat Penglipuran
Ada beberapa hal yang unik dari Desa Adat Penglipuran yang merupakan ciri khas dari desa tersebut. Keunikan inilah yang menyebabkan Desa Penglipuran memiliki potensi budaya yang menimbulkan daya tarik bagi para wisatawan. Keunikan tersebut adalah dari bentuk bangunan yang seragam, masyarakat yang anti poligami, sistem adat, tata ruang desa,bentuk bangunan dan topografi, upacara kematian (ngaben), stratifikasi social, mata pencaharian, kesenian serta organisasi. Keunikan-keunikan tersebutlah yang menjadi pembeda antara desa Penglipuran dengan desa-desa yang lainnya.

Bentuk Bangunan Yang Seragam
Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali adalah, bagian depan rumah yang serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa. Keseragaman wajah desa, selain pada bentuk, juga bahan bangunannya berupa tanah untuk tembok penyengker dan angkul-angkul serta atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh bangunan desa. Penggunaan bambu baik untuk atap, dinding maupun kebutuhan lain-lain merupakan suatu keharusan untuk digunakan karena Desa Penglipuran dikelilingi oleh hutan bambu yang termasuk teritorial desa tersebut. Penataan rumah dan pekarangan sangat ketat dan mengikuti ketentuan Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Sikut Karang, dan berbagai aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis lainnya. Maka, setiap pekarangan dan rumah di desa itu selalu mempunyai pola atau tatanan yang sama. Dan hal itu merupakan keunggulan Penglipuran sebagai desa adat.
Pola penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di Penglipuran menggunakan Pola Dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara gunung dan laut serta terhadap peredaran matahari. Ciri yang menonjol adalah As Utara Selatan (kaje kelod dengan axis linier). Axis linier ini juga berfungsi sebagai open space untuk kegiatan bersama. Open space ini berorientasi ke arah kaja kelod dan membagi desa menjadi dua bagian. Open space Desa Tradisional penglipuran menanjak menuju ke arah gunung (utara) dimana terdapat bangunan suci dengan orientasi ke Gunung Batur. Pola tata ruang dan tata letak bangunan rumah di Desa Adat Penglipuran pada umumnya mengikuti pola Tri Mandala.
 
Masyarakat Desa Penglipuran
Masyarakat Anti Poligami
Selain keseragaman bentuk bangunan, desa yang terletak pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut ini juga memiliki sejumlah aturan adat dan tradisi unik lainnya. Salah satunya, pantangan bagi kaum lelakinya untuk beristri lebih dari satu atau berpoligami. Lelaki Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami yakni hanya memiliki seorang istri. Pantangan berpoligami ini diatur dalam peraturan (awig-awig) desa adat. Dalam bab perkawinan (pawos pawiwahan) awig-awig itu disebutkan, krama Desa Adat Penglipuran tan kadadosang madue istri langkung ring asiki. Artinya, krama Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Jika ada lelaki Penglipuran beristri yang coba-coba merasa bisa berlaku adil dan menikahi wanita lain, maka lelaki tersebut akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu. Karang artinya tempat dan memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan untuk tempat bagi orang yang berpoligami. Karang Memadu merupakan sebidang lahan kosong di ujung Selatan desa.
Penduduk desa akan membuatkan si pelanggar itu sebuah gubuk sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Dia hanya boleh melintasi jalan-jalan tertentu di wilayah desa. Artinya, suami-istri ini ruang geraknya di desa akan terbatas. Tidak hanya itu, pernikahan orang yang berpoligami itu juga tidak akan dilegitimasi oleh desa, upacaranya pernikahannya tidak dipimpin oleh Jero Kubayan yang merupakan pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan upacara adat dan agama. Implikasinya, karena pernikahan itu dianggap tidak sah maka orang tersebut juga dilarang untuk bersembahyang di pura-pura yang menjadi emongan (tanggung jawab) desa adat. Mereka hanya diperbolehkan sembanyang di tempat mereka sendiri.

Sistem Adat Desa Penglipuran
Di desa Panglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu menurut sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang otonom atau Desa adat.Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri sendiri- sendiri dan setara. Karena otonom, desa adat mempunyai aturan-aturan tersendiri menurut adat istiadat di daerah panglipuran dengan catatan aturan tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang pemerintah. Undang-undang atau aturan yang ada di desa panglipuran disebut dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan operasional masyarakat panglipuran yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana tersebut yaitu sebagai berikut.

1. Parhyangan adalah hubungan manusia dan tuhan. Meliputi penentuan hari suci, tempat suci dan lain-lain.

2. Pawongan adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan masyarakat panglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan dengan orang yang beda agama. Dalam pawongan bentuk-bentuknya meliputi sistem perkawinan, organisasi, perwarisan dan lain-lain.


3. Palemahan  adalah hubungan manusia dan ligkungan, masyarakat Desa Penglipuran diajarkan untuk mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran kalau desa panglipuran terlihat begitu asri. Dan memang pada umumnya masyarakat di Bali sangat cinta terhadap alam, mereka menganggap manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan hewan dan tumbuhan, sehingga manusia bertugas menjaga alam semesta ini. Filsafat hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan manusia mendayagunakan alam sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas di Penglipuran dan daerah lain di Bali. Nilai estetika yang ditimbulkan dari hubungan dari hubungan yang selaras dan serasi sudah menyatu dalam proses alami yang terjadi dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, visualisasi estetika pada kawasan ini bukan merupakan barang langka yang sulit dicari, melainkan sudah menyatu dalam tata lingkungannya.

http://basabalinunggalangpikayunanx.blogspot.co.id/2013/11/sejarah-bali-desa-adat-penglipuran.html

No comments:

Post a Comment